Pada dasarnya, manusia tidak memiliki kebebasan penuh dalam memilih. Tanpa disadari, kita adalah hasil dari serangkaian kondisioning—pola asuh, lingkungan, pengalaman, dan budaya yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Persepsi, nilai-nilai, hingga preferensi yang kita anut bukanlah hasil dari pilihan bebas, melainkan sesuatu yang tertanam melalui pengalaman hidup.
Ambil contoh sederhana: ketika kita mencicipi makanan tradisional dari daerah lain, rasanya mungkin terasa asing atau bahkan tidak cocok di lidah. Namun, bagi penduduk lokal, makanan itu adalah favorit mereka. Ini adalah bukti bahwa selera kita bukanlah sesuatu yang sepenuhnya kita pilih; selera itu terbentuk oleh kebiasaan dan lingkungan. Kita bisa memilih ingin makan apa hari ini, tetapi tidak bisa memilih untuk langsung menyukai sesuatu yang baru.
Hal yang sama berlaku dalam aspek moral, seperti konsep "baik" dan "jahat." Seorang individu menjadi baik atau jahat juga karena pengaruh kondisioning yang dialaminya. Misalnya, kasus Ferdy Sambo menunjukkan bahwa pilihan untuk melakukan tindakan tertentu—seperti membunuh Brigadir J—mungkin terlihat sebagai keputusan yang disengaja. Namun, sifat, nilai, dan pola pikir yang mendasari tindakannya adalah hasil dari serangkaian pengalaman hidup yang membentuk dirinya. Jika kita berada dalam situasi yang sama, dengan pola kondisioning yang serupa, ada kemungkinan besar kita akan mengambil keputusan serupa.
Pada hakikatnya, tidak ada orang yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat; yang ada hanyalah perbedaan dalam pola kondisioning yang membentuk nilai-nilai yang dianut masing-masing individu. Contoh ekstrim seperti Bunda Theresa dan Adolf Hitler menggambarkan hal ini dengan jelas. Keduanya bertindak sesuai dengan pola pikir dan keyakinan yang terbentuk oleh pengalaman hidup mereka. Kebaikan dan kejahatan, dalam hal ini, adalah bagian dari sifat dasar manusia, hasil dari interaksi kompleks antara lingkungan dan sifat biologis.
Namun, apakah ini berarti orang jahat tidak perlu dihukum atau orang baik tidak layak diberi pujian? Tidak sesederhana itu. Hukuman dan pujian adalah bentuk konsekuensi, bukan penghakiman absolut terhadap nilai-nilai. Misalnya, ketika air hujan jatuh dari langit dan menyebabkan kerusakan pada rumah yang bocor, air itu tidak "bersalah." Itu hanya mengikuti hukum alam. Namun, kita tetap membersihkan dan mengeringkan air tersebut untuk memulihkan kondisi rumah. Sama halnya dengan tindakan manusia: konsekuensi selalu ada, tetapi itu bukanlah penghakiman moral yang mutlak.
Dalam konteks peradaban, manusia menciptakan sistem hukum untuk mengatur konsekuensi ini, baik untuk kejahatan maupun kebaikan. Sistem ini berevolusi seiring waktu, membantu manusia hidup bersama dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Pada akhirnya, apa yang kita pilih hari ini—dari makanan hingga tindakan—terbatas oleh apa yang telah membentuk kita sebelumnya. Kita bisa memilih tindakan, tetapi kita tidak bisa memilih bagaimana pola pikir dan kondisi yang membentuk tindakan itu. Dan justru dalam pemahaman ini, ada ruang untuk memahami manusia secara lebih mendalam: bahwa kita semua adalah hasil dari perjalanan panjang yang unik dan saling terkait.